Masjid Jami Bua dan Palopo sebagai Penggambaran Islam Tertua
Cikal bakal perkembangan ajaran Islam di Sulsel ada di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu. Sejarahnya tidak lepas dari masjid tua yang dibangun sejak tahun 1593 Masehi.
Oleh: Hidayat Ibrahim, Luwu
Sore itu sekira pukul 16.30 Wita, Kamis, 4 Agustus. Sejumlah
anak-anak terlihat sedang asyik naik sepeda di depan masjid tua yang
terletak di sisi kanan poros Kota Palopo menuju Kota Belopa, Kabupaten
Luwu itu. Mereka adalah generasi yang akan mengumandangkan suara azan di
masjid tertua dengan nama Masjid Jami Bua itu. Menurut sejarah, Masjid
Jami Bua lebih tua dari Masjid Al Hilal Katangka. Masjid ini dibangun
sejak tahun 1593 masehi.
Meski terbilang tua, tapi jika dilihat dari bentuk dan kondisi
fisik masjid ini tidak jauh berbeda dengan masjid pada umumnya. Berkubah
segi empat berbalut cat warna putih dan hijau dengan menara di sisi
kiri masjid. Apalagi desain masjid itu sedikit tersentuh pengaruh
modern. Hanya dengan sebuah papan bertuliskan Masjid Jami’ Bua, Desa
Tanarigella, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yang mengisyaratkan kalau
masjid tersebut adalah masjid tua.
Perkembangan agama Islam di Sulsel tidak bisa
dilepaskan dari sejarah masjid tersebut. Dalam buku sejarah Kerajaan
Luwu, masjid ini pula menjadi bukti sejarah perjuangan melawan penjajah
Belanda ketika terjadi insiden tentara Belanda merobek-robek Alquran dan
menganiaya penjaga masjid sehingga memicu terjadinya serangan umum, 23
Januari 1946 waktu itu. Usia zamanlah yang memaksa sisa-sisa sejarah
Islam di masjid ini bisa dilihat dalam bentuk kubah, tiang tengah masjid
dan mimbar. Tiga benda ini yang masih dijaga dengan baik oleh pengurus
masjid dan masyarakat setempat. Bahkan, untuk menjaga keutuhan tiang
tengah masjid yang bersegi delapan itu, pengelola masjid berinisiatif
membungkusnya dengan batu keramik berwarna putih sebagai simbol
kesucian.
Demikian halnya dengan kubah masjid yang bersegi empat dengan
bentuk bersusun tiga. Oleh tokoh agama setempat meriwayatkan bahwa
bentuk kubah itu sengaja dipertahankan sebagai simbol ajaran Islam.
“Tiga susun kubah itu menggambarkan tiga daerah besar di Luwu waktu
itu. Khususnya tentang tingkatan keimanan seseorang mulai dari syariat,
tarekat, hakikat, dan ma’rifat,” ungkap KH S Opu Daeng Mallonjo.
Menurut Opu Daeng Mallonjo, di masjid inilah ajaran Islam pertama
kali diajarkan Datuk Sulaiman dan dua sahabatnya. Ajarannya itu kemudian
berkembang ke kerajaan Luwu yang waktu itu berpusat di Malangke. “Dari
sinilah asal mula perkembangan ajaran Islam di Sulsel. Makanya, dalam
sejarah Islam Sulsel, masjid inilah yang pertama kali dibangun yakni
sekira tahun 1593 masehi,” jelasnya.
Sisa-sisa budaya yang juga masih terjaga di Masjid Jami Bua, berupa
Yasinan setiap Kamis malam. Yasinan ini tidak hanya dilakoni kaum
dewasa, tapi juga anak-anak muda.
Perkembangan ajaran Islam yang begitu pesat waktu itu, membuat
didirikan masjid kedua di Sulsel, yakni Jami Tua Palopo. Dalam sejarah
singkatnya yang terpasang di samping pintu masuk masjid, tertulis
susunan sejarah perkembangan Islam di Sulsel, yang disertai dengan
sejarah pembangunan masjid.
Di papan berbingkai dan berkaca dengan tulisan ejaan lama itu,
diceritakan sejarah Islam sebenarnya di Sulsel. Awalnya, ajaran Islam
masuk di daerah Luwu (Kecamatan Bua) pada tahun 1593 masehi. Bukti
sejarah masuk dan dianutnya ajaran Islam oleh masyarakat setempat waktu
itu, yakni dibangunnya Masjid Jami Bua pada tahun yang sama. Di masjid
inilah pertama kali dibentuk pengurus masjid dan perangkat adat yang
menjabat posisi dalam penyebaran ajaran Islam.
Setelah ajaran Islam diterima Kerajaan Luwu sebagai agama
kepercayaan masyarakatnya, maka dibangunlah masjid kedua yakni Masjid
Jami Tua Palopo. “Masjid Jami Tua ini dibangun menggunakan batu kapur
dan kayu Tjina Qoeri pada tahun 1603 Masehi oleh Fung Man Te. Semua sisi
bangunan ini sarat dengan Islam,” kisah Abdul Latif, imam Masjid Jami
Tua Palopo.
Dijelaskan, karena sarat dengan kaidah dan rukun dalam Islam, maka
hampir semua sisi dalam dan luar masjid memiliki arti. Sebut saja, tiang
masjid yang berjumlah lima unit. Tiang-tiang ini menggambarkan lima
rukun Islam, dan lima waktu salat wajib dalam sehari semalam. Bukan
hanya itu, bentuk tiang masjid yang bersegi 12 juga menyimbolkan tentang
12 suku bahasa yang ada di Kabupaten Luwu, waktu itu dengan kepercayaan
ajaran Islam.
Jendela-jendela kecil di bagian depan imam yang berjumlah 12 buah
juga memiliki simbol waktu dalam setahun, yakni sebanyak 12 bulan.
“Jendela besar sebanyak tujuh buah di samping kiri dan kanan serta enam
buah di belakang konon sebagai simbol 20 sifat-sifat Allah swt yang
patut kita amalkan,” beber Abdul Latif.
Menurut Latif, budaya atau kebiasaan masyarakat yang tetap terjaga
dan rutin dilakukan di Masjid Jami Tua Palopo adalah rutin dzikir pada
Kamis malam serta barzanji pada Jumat malam. “Sejarah masjid ini telah
mendapatkan pengakuan pemerintah pusat. Bahkan, beberapa wisatawan asing
banyak yang telah meluangkan waktu mengunjungi masjid ini karena cerita
sejarahnya,” tandas Latif.
Latif sendiri mengaku telah mengabdikan dirinya untuk menjadi
pengurus Masjid Jami Tua Palopo sejak tahun 1978. Waktu itu, dirinya
memulai aktivitas di masjid tersebut sebagai juru sapu. Kini, warga
Palopo keturunan arab ini telah menjabat sebagai imam masjid untuk waktu
salat Dhuhur dan Ashar.
Selama bulan suci Ramadan, uasana di masjid kebanggaan masyarakat
Luwu Raya itu ramai dijadikan sebagai tempat bertadarrus dan berzikir,
baik siang maupun pada malam hari.
untuk beli bibit durian saweri gading dimana ??
ReplyDeleteuntuk beli bibit durian saweri gading dimana ??
ReplyDelete